Selasa, 27 November 2007

Jangan Biarkan Bumi Jadi Venus

SENGATAN sinar matahari yang menerpa permukaan Bumi kian lama terasa bertambah panasnya. Apalagi berada di area yang tidak terdapat pepohonan, rasanya ingin berlari menjauhi teriknya sang surya. Tanaman, termasuk pohon hutan, mengubah karbon dioksida (CO2) atmosfer menjadi karbon melalui fotosintesis. Dedaunan menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses difusi gas. Di dalam daun, kloroplas, karbohidrat, asam-asam amino, protein, dan adenosin trifosfat diproduksi melalui fotosintesis. Fotosintesis bergantung pada cahaya dan ketersediaan CO2, serta suhu. Laju fotosintesis berbanding lurus dengan konsentrasi CO2 di udara dan jumlah kloroplas, serta berbanding terbalik dengan tahanan daun terhadap difusi CO2.

Iklim memengaruhi laju fotosintesis melalui konsentrasi CO2 ambien, radiasi matahari, lengas, suhu, dan ketersediaan hara. Pohon-pohon berdaun lebar umumnya memiliki laju fotosintesis yang lebih besar daripada pohon berdaun jarum karena bobot daunnya, tetapi pohon berdaun jarum sebaliknya juga melakukan fotosintesis aktif yang lebih lama terutama di daerah lintang tinggi. Meskipun demikian, variabilitas CO2 tidak berakibat langsung terhadap variabilitas fotosintesis karena adanya pengaruh variabilitas cahaya, lengas, dan hara. Oleh karena itu, variabilitas CO2 ambien menyebabkan respons yang berbeda terhadap komponen-komponen ekosistem hutan.

Indonesia memiliki hutan sekitar 140 juta hektare. Namun sayang, sejak sering terjadi kebakaran hutan, khususnya di Sumatra dan Kalimantan, beribu-ribu pohon musnah terbakar. Kebakaran hutan terbesar pernah terjadi pada 1982 seluas 3,6 juta hektare, lalu setelahnya hampir setiap tahunnya ratusan ribu hektare hutan terbakar. Untuk aspek ekologis, dengan musnahnya jutaan hektare hutan, akan mengganggu keseimbangan alam sekitarnya, baik secara lokal atau bahkan akan mendunia (global).

Secara lokal, keseimbangan alam kehidupan hewan-hewan penghuni hutan akan terganggu, sehingga tidak mengherankan bila ada harimau atau segerombolan gajah masuk ke wilayah perkampungan karena musnahnya habitat tempat mereka berkembang biak. Sedangkan dalam skala besar akan mengganggu keseimbangan biosfer yang sifatnya global.

Mengingat begitu pentingnya bagi keseimbangan ekosistem, tumbuhan perlu dijaga keberadaannya secara proporsional di muka Bumi ini. Apalagi dengan adanya kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer yang sudah di luar kenormalan. Semula kenaikan CO2 diakibatan oleh proses alam, namun sejak dimulainya revolusi industri pada permulaan abad ke-18, di mana gas karbon dioksida dilepaskan dalam jumlah yang sangat tinggi, jauh melebihi kemampuan tumbuhan hutan dan penyerapan oleh samudra, sebagai agen alam yang berperan sebagai pembersih atmosfer dari gas karbon dioksida, melalui penyerapan langsung maupun melalui pelarutan.

Sejak awal abad ke-20, kerusakan lingkungan akibat ulah umat manusia menjadi makin memuncak, dengan semakin tingginya kenaikan gas karbon dioksida yang didukung dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk Bumi. Di samping itu, juga makin pesatnya usaha penebangan pohon-pohon hutan (penggundulan hutan) di kebanyakan negara berkembang, bahkan usaha penebangan hutan yang diikuti dengan pembakaran sisa-sisa penebangan pohon-pohon hutan menambah tinggi konsentrasi CO2 di atmosfer.

Tingkat konsentrasi karbon dioksida di awal abad ke-19 sebesar 280-an ppm (part per million), sedangkan hasil pemantauan di tahun 2000-an ini, konsentrasi CO2 di atmosfer sudah mencapai sekitar 370 ppm. Apabila keadaan seperti saat ini dibiarkan terus menerus, pada pertengahan abad 21 tingkat konsentrasi CO2 akan dapat mencapai 500 sampai 600 ppm. Sungguh suatu tingkat konsentrasi yang dramatis, jauh lebih tinggi daripada beberapa juta tahun umur bumi yang telah lalu (Arianto, 1990)

Efek gas rumah kaca (GRK) atau greenhouse effect merupakan istilah yang pada awalnya berasal dari pengalaman para petani di daerah beriklim sedang yang menanam sayur-sayuran dan biji-bijian di dalam rumah kaca. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pada siang hari pada waktu cuaca cerah, meskipun tanpa alat pemanas, suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi daripada suhu di luarnya. Hal tersebut terjadi karena sinar matahari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh tanaman/tanah di dalam ruangan rumah kaca sebagai sinar inframerah yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan tidak dapat keluar ruangan rumah kaca sehingga udara di dalam rumah kaca suhunya naik dan panas yang dihasilkan terperangkap di dalam ruangan rumah kaca dan tidak tercampur dengan udara di luar rumah kaca. Akibatnya, suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi daripada suhu di luarnya dan hal tersebut dikenal sebagai efek rumah kaca.

Pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Bagian yang diserap akan dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di atmosfer akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) sehingga tidak terlepas ke luar angkasa dan menyebabkan panas terperangkap di troposfer dan akhirnya mengakibatkan peningkatan suhu di lapisan troposfer dan di Bumi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya efek rumah kaca di Bumi.

Bila sampai pertengahan abad ke-21 kenaikan konsentrasi CO2 tetap tidak diupayakan untuk dikurangi, maka temperatur permukaan Bumi akan mengalami kenaikan sebesar 4,5 derajat Celsius dari temperatur rata-rata saat ini. Laporan pertama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikeluarkan tahun 1990 telah menegaskan bahwa pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia. Pada abad ini diperkirakan terjadi peningkatan suhu global 1,4-5,8 derajat Celsius. Pada Era 1990-an menjadi dekade terhangat dalam abad ke-20. NASA Goddard Institute for Space Studies (GISS) menyebutkan, tahun 2005 merupakan tahun terpanas dalam seabad terakhir. Secara global suhu Bumi meningkat 0,8 derajat Celsius. Menurut laporan itu, sebagian besar wilayah Indonesia mengalami peningkatan suhu permukaan 0,5-1 derajat Celsius dibandingkan dengan rata-rata tahun 1951-1980.

Para ahli yakin pemanasan global terjadi akibat terlampau banyaknya gas polutan di udara sekitar 23 persen CO2 berasal dari penyusutan hutan dan selebihnya dari pembakaran bahan bakar fosil, sehingga makin banyak panas yang terperangkap di atmosfer Bumi. Sumber lain adalah penyusutan luas kawasan hutan atau deforestasi. Itu mula-mula terjadi di negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa, lalu merambat ke banyak negara berkembang, seperti Brasil, Kolombia, dan Indonesia. Penyusutan hutan di negara maju 13 kali lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang. Diperkirakan, 23 persen CO2 berasal dari penyusutan hutan dan selebihnya dari pembakaran bahan bakar fosil.

Bumi oleh Sang Maha Pencipta ditakdirkan sebagai tempat hunian bagi umat manusia, bukan Planet Mars ataupun Venus. Namun, Bumi sendiri kini sedang berproses, menuju kenaikan temperatur akibat kenaikan konsentrasi gas rumah kaca. Cepat atau lambat dataran hijau akan berubah menjadi bukit-bukit pasir, gersang, dan panas bagai Planet Venus yang panas dan gersang. Akankah bumi kita dibiarkan menjadi Planet Venus? Tentu tidak.

Mengingat akan bahaya efek gas rumah kaca (GRK) bagi masa depan lingkungan bumi, semestinyalah penghuni di bumi ini mengantisipasi demi kenyamanan tempat yang kita huni. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan langkah-langkah yang konkret dalam mengurangi net emission dari segala kegiatan yang memberikan konstribusi terhadap GRK. Upaya lainnya adalah dilakukan pemantauan pola perubahan emisi GRK di atmosfer. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lapan Bandung, sejak tahun 1993 melakukan pemantauan berupa pengamatan suhu bumi, radiasi matahari, dan gas rumah kaca. Dari pengamatan tersebut diharapkan dapat mengetahui kondisi gas rumah kaca di Indonesia, antara lain berupa karbon dioksida (CO2), metana (CH4), ozon (O3), nitrogen oksida (NOx), dan klorofluorokarbon (CFC).

Tidak ada komentar: